Hak Pilih Masyarat Sistem Pemilu

 

tigakelinci

Ulasan tentang berita politik tanah air terkini , menyajikan info berita politik meliputi partai , lembaga masyarakat , pejabat , pemerintahan , DPR , MPR, tokoh , pemilu , pilpres hingga pilkada.


Hak Pilih Masyarat Sistem Pemilu  - Pilih Coblos Caleg Atau Partai, Ini Kata Masyarakat
Wacana sistem pemilu proposional tertutup atau coblos partai mencuat di publik menjelang Pemilu 2024. Padahal selama ini, Indonesia memakai sistem proporsional terbuka di mana pemilih bisa langsung memilih calon anggota legislatif (caleg). Sementara bila sistem proporsional tertutup, hanya memilih logo partai politik peserta pemilu.

Masyarakat punya pendapatnya masing-masing mengenai dua pilihan wacana itu. Salah satunya pedagang bernama siomay bernama Somat (40), ia lebih mendukung mencoblos caleg.

"Coblos caleg," kata Somat ditemui di kawasan Jakarta Pusat, Kamis (5/1).
Somat beralasan, caleg lebih jelas mengutarakan visi dan misinya. Sedangkan, ia tidak terlalu mengetahui visi misi partai politik.

"Alasannya kalau caleg lebih jelas visi misinya, kalau partai saya belum tau juga," ucapnya.
Somat juga sering ikut mencoblos di kampungnya saat hari pemilihan. Kata dia, mencoblos caleg lebih transparan.

"Nyoblos di kampung, lebih terbuka," tugas Somat.
Sementara, seorang pengendara ojek online bernama Denis (33) lebih memilih mencoblos partai. Berbeda dengan Somat, ia justru tidak mengenal calon-calon wakil rakyatnya.

"Saya partai, soalnya dari dulu keluarga lebih milih partai, kalau caleg gatau soalnya gak ngikutin," kata Denis.

Menurutnya, logo partai lebih mudah diingat masyarakat. Lagi pula, ketika dipilih, anggota DPR belum tentu benar-benar bekerja.

"Logo partai lebih gampang diingat, kalau caleg gak familiar, gak terlalu ngikutin politik saya," ucapnya.

"Kalau saya mah kalau yang siapa aja yang jadi (anggota DPR) belum tentu benar," ujar Denis.
Selain itu, warga bernama Rahmat (50) lebih mendukung mencoblos partai politik. Menurutnya, partai politik lebih solid ketimbang calegnya.

"(Nyoblos) partainya, lebih solid," kata Rahmat.

Karena sebenarnya, dirinya juga tidak menyukai orang orang yang maju menjadi caleg. Rahmat lebih senang kepada partai politik.

"Kalau caleg saya kurang ini, pemain pemainnya kurang senang saya, kalau partai senang," kata dia.

Rahmat pun menyukai logo-logi partai politik. Sedangkan, ia tidak terlalu paham mengenai calon legislatif.

"Itu juga bagus logonya, kalau caleg gak begitu paham saya, yang saya senang dari dulu partainya," kata pria yang sehari-sehari menjual barang bekas ini.

'Sistem Proporsional Tertutup Hadirkan Pemilu Murah, tapi Wajibkan Parpol Berbenah'
 Sistem pemilu proporsional terbuka sebenarnya tak sejalan dengan semangat demokrasi yang dianut dalam UUD 1945. Bahkan cenderung menyuburkan demokrasi liberal yang sangat disenangi oligarki yang suka 'membeli' politik untuk keuntungan kelompoknya sendiri.

Dekan Fakultas Hukum Universitas Riau (UNRI), Dr. Mexasai Indra menegaskan, menurut Pasal 22E ayat (3) UUD 1945, partai politik adalah peserta pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan DPRD.

Menurutnya, ketentuan Pasal 22E ayat (3) Konstitusi tersebut mengandung makna esensi pengaturan partai politik yang merupakan praktik lazim dalam negara demokrasi. Kedudukan partai politik sebagai tiang demokrasi dan bagi negara-negara yang menganut sistem demokrasi konstitusional, partai politik menjadi organ fundamental dalam melaksanakan kedaulatan rakyat.

"Akan tetapi, praktik pemilu selama ini dengan sistem proporsional terbuka telah menggeser peserta pemilu menjadi perseorangan atau berbasis individu caleg. Sistem proporsional terbuka dengan nyoblos caleg telah menempatkan individu sebagai peserta pemilu sebenarnya," ujar Mexasai kepada media, Kamis (5/1).

Dia menambahkan, dalam kondisi yang demikian, maka sistem politik di Indonesia semakin mengarah ke politik liberal 'pasar bebas' yang menjunjung tinggi popularitas perseorangan semata daripada sistem kepartaian. Hal ini yang menyebabkan prinsip konstitusional pemilu telah bergeser.

"Sistem politik liberal 'pasar bebas' tersebut hanya akan menempatkan partai politik sebagai kendaraan atau perahu semata, yang bisa ditunggangi oleh pemodal-pemodal besar. Pada titik inilah sistem proporsional terbuka disenangi para Oligarki karena bisa 'membeli' partai dan membajak partai untuk kepentingan oligarki," tegas Mexasai, yang juga merupakan Pakar Hukum Tata Negara.

Meskipun konstitusi tidak menyebut secara harfiah sistem pemilu apa yang harus diterapkan, namun menurutnya, mestinya sistem yang diterapkan tersebut harus menggambarkan kehendak Pasal 22E ayat (3) UUD 1945.

Di sisi lain, lanjut Mexasai, sistem proporsional tertutup juga memiliki tantangan. Meskipun pelaksanaan pemilu akan lebih sederhana dan murah, tantangannya adalah bagaimana partai-partai dapat melakukan pengkaderan politik secara baik.

"Jadi fungsi pendidikan politik harus dijalankan secara maksimal, sehingga partai-partai dapat menawarkan caleg yang terbaik bagi kepentingan rakyat. Dalam sistem nyoblos partai ini, partai politik dituntut untuk berbenah, karena jika tidak, maka partai tersebut tidak akan dipilih rakyat," urainya.

Untuk diketahui, saat ini Mahkamah Konstitusi (MK) sedang menguji materi (judicial review) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terkait sistem proporsional terbuka. Apabila judicial review itu dikabulkan oleh MK, maka sistem pemilu pada 2024 mendatang akan berubah menjadi sistem proporsional tertutup.

Sistem proporsional tertutup memungkinkan para pemilih hanya disajikan logo partai politik (parpol) pada surat suara, bukan nama kader partai yang mengikuti pileg.

Uji materi ini diajukan oleh enam orang, yakni Demas Brian Wicaksono (pemohon I), Yuwono Pintadi (pemohon II), Fahrurrozi (pemohon III), Ibnu Rachman Jaya (pemohon IV), Riyanto (pemohon V), dan Nono Marijono (pemohon VI).

Di sisi lain, mayoritas fraksi di DPR justru menyatakan keberatan bila sistem proporsional tertutup diberlakukan. Mereka menginginkan sistem proporsional terbuka yang digugat itu untuk terus dipertahankan.

Suara Anak Muda Soal Sistem Coblos Caleg Atau Partai
Wacana sistem pemilu proporsional tertutup atau mencoblos partai politik muncul ke publik menjelang Pemilu 2024. Beberapa pihak tengah mengajukan gugatan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap sejumlah Pasal dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu), termasuk soal sistem proporsional terbuka.

Adapun sistem pemilu legislatif (pileg) di Indonesia menganut prinsip proporsional terbuka. Sistem ini digunakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Ketentuan tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, khususnya Pasal 168 Ayat (2). merdeka.com mencoba memintai pendapat beberapa anak muda di sekitar Tangerang pada Kamis (5/1).

Caroline (22) seorang fotografer lepas mengaku setuju dengan proporsional tertutup. Sebab, ia lebih familiar dengan berbagai partai politik yang ada dibandingkan sosok-sosok caleg yang tersedia.

"Aduh, enggak ngikutin politik banget. Paling partai politik kali ya. Kalau caleg, pada enggak tahu namanya," kata Caroline saat berbincang dengan merdeka.com, Kamis (5/1).

Meskipun terkadang, terlintas di benaknya untuk tidak memilih. Dengan alasan, sosok yang muncul hanya orang-orang terkenal, yang sebelumnya telah mencalonkan diri. Tapi dia pastikan di 2024 nanti akan memberikan hak suara meski tak alasan spesifik terhadap partai atau caleg yang nantinya dia coblos.

"Yang muncul mostly (pasti) yang memang sudah ada dari dulu saja. Jadi, pasti yang menonjol bakal sama. Berasanya kayak enggak ada perubahan apa-apa. Tapi nanti (2024) tetap milih, tutup mata milihnya. Formalitas aja," ujarnya.

Berbeda dengan Caroline, Nayumi (23) seorang mahasiswa lebih memilih proporsional terbuka. Dia lebih senang jika memilih caleg yang ingin dicoblos.

"Lebih memilih coblos calegnya karena terlihat lebih nyata visi misinya," kata Nayumi santai.
Namun, sama dengan Caroline, dia mengaku tidak terlalu mengikuti perkembangan politik di Tanah Air. Sehingga menyerahkan sepenuhnya keputusan pada MK apakah Pemilu 2024 menerapkan sistem coblos partai atau caleg.

"Terserah saja ngga mentingin caleg sama partai. Ya nggak ngikutin politik jadi ya nggak paham. Tapi lebih ngeliatnya calegnya ketimbang partainya," tambah Nayumi.

Serupa Nayumi, Natasya (22) yang juga mahasiswa lebih memilih untuk coblos caleg. Dia bisa melihat sosok yang sesuai dengan keinginan hatinya.

"Karena kalau calegnya langsung kan kita tahu orangnya. Jadi kita tahu kinerja dia gimana, bukan generalisasi dari partainya," kata Natasya.

Lebih lanjut, Natasya menyebutkan kriteria orang yang akan dipilihnya.

"Yang penting orangnya jujur, mau kerja, nggak cuma janji pas kampanye doang," ujarnya.
Sebelumnya, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy'ari melempar wacana bahwa terbuka peluang menggunakan sistem proporsional tertutup pada Pemilihan Umum atau Pemilu 2024 mendatang.

"Jadi kira-kira bisa diprediksi atau enggak putusan Mahkamah Konstitusi ke depan? Ada kemungkinan, saya belum berani berspekulasi, ada kemungkinan kembali ke sistem proporsional daftar calon tertutup," ujar Hasyim dalam Catatan Akhir Tahun KPU RI 2022 di Kantor KPU RI, Jakarta, Kamis 29 Desember 2022.

Hasyim mengatakan, MK bisa saja memutuskan Pemilu 2024 menggunakan sistem proporsional tertutup. Sebab pada Pemilu 2009, sistem proporsional terbuka diberlakukan karena putusan lembaga tersebut.

Munculnya wacana dari KPU itu pun menuai beragam tanggapan pro kontra dari berbagai pihak. Salah satunya Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).

Menurut Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya), ada aturan yang sudah disepakati dan tak boleh dilanggar.

"Itu soal kesepakatan, jadi namanya game harus ada aturan dasar yang disepakati dan game itu dilaksanakan sesuai aturan. Jangan dilanggar aturan yang sudah disepakati," kata Gus Yahya di Kompleks Istana Negara, Jakarta, Senin 2 Januari 2023.

Soal mendukung atau tidak, PBNU menyerahkan urusan tersebut kepada partai politik dan KPU. Selanjutnya, laksanakan aturan pemilu atas kesepakatan bersama.

Namun, 8 dari 9 fraksi DPR menyampaikan pernyataan sikap menolak sistem proporsional tertutup yang diwacanakan KPU bakal diterapkan di Pemilu 2024.

Adapun mereka yang menolak yakni Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Gerindra, Fraksi Partai Nasdem, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Fraksi Partai Amanat Nasional, dan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan.

Warga Pilih Coblos Caleg Ketimbang Partai: Saya Tahu Titipkan Suara ke Siapa
Pembahasan sistem proporsional tertutup atau coblos gambar partai pada Pemilu 2024 terus bergulir. Rencana itu menuai pro dan kontra dari berbagai pihak. Lalu apa kata masyarakat?
Riana Rizkia (24) meminta agar MK menolak gugatan atas perubahan sistem tersebut. Riana menilai, penggunaan sistem coblos caleg dianggap lebih baik, sebab dirinya tahu kepada siapa hak suaranya dia titipkan.

"Dalam konteks kepemiluan saya setuju sistem terbuka, karena saya tahu menitipkan suara saya ke siapa. Saya mendorong keterlibatan publik untuk dibuka seluas luasnya," kata Riana, saat diwawancarai merdeka.com, di Jakarta (5/1).

Perihal kekhawatiran adanya politik uang dalam sistem terbuka, Riana mengatakan, hal itu menjadi tugas Bawaslu dalam mengawasi jalannya pelaksanaan pemilu 2024 nanti. Sehingga, jalan untuk mengubah sistem kembali menjadi coblos partai bukanlah hal yang tepat.

"Kalau kita hanya memilih partai maka kewenangan elite di partai politik akan semakin besar, memangnya bawaslu dan penegak hukum berani menindak elite? Justru politik transaksional semakin bebas karena dilakukan di ruang tertutup," tegasnya.

Hal senada juga disampaikan oleh Naufal Lanten (25). Dia memilih agar sistem pemilu 2024 tetap menggunakan sistem coblos caleg.

Meskipun, dengan sistem coblos caleg tak menutup kemungkinan adanya manuver seperti politik uang dalam mencari suara. Namun, setidaknya dia bisa mengetahui siapa sosok yang dia pilih nanti di pemilu 2024.

"Kalau suruh milih, saya pilih sistem terbuka. Saya jadi tahu siapa caleg yang saya pilih," kata Naufal.

Sementara, Ferry (25) mendukung agar Pemilu 2024 tetap menerapkan sistem coblos caleg. Menurutnya, masyarakat perlu mengetahui siapa sosok wakil rakyat yang akan menampung aspirasinya kelak.

"Menurut saya sih mending coblos caleg karena dari situ kita bisa melihat kualitas orangnya seperti apa, ya kan kalau misal milih gambar parpol doang kemungkinan parpol tersebut bisa saja memilih kader yang memang kita tak tahu kualitasnya dan bisa jadi dapat menimbulkan hal negatif," katanya.

"Seperti politik uang di dalamnya, yakni siapa yang kuat membayar ya dia yang bakal dipilih parpol, seharusnya kita bisa menghindari hal yang seperti itu. Ya menurut saya lebih baik memilih sosok calegnya sih biar jelas dan enggak beli kucing dalam karung dan demi Demokrasi Indonesia juga sih," imbuh Ferry.

Sebelumnya, PDI Perjuangan percaya diri mendorong agar sistem pemilu menjadi coblos partai, sementara delapan fraksi di DPR kompak menolak.

Tak hanya itu, aturan sistem pemilu yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) tengah diuji secara materiil di MK oleh dua kader partai politik dan empat perseorangan warga negara.

Mereka adalah Demas Brian Wicaksono (Pengurus Partai PDI-Perjuangan), Yuwono Pintadi (Anggota Partai Nasdem), Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono.

PDI Perjuangan Dorong Coblos Partai
PDI Perjuangan menjadi satu-satunya partai yang mendukung dan mendorong adanya perubahan sistem pemilu tersebut.

Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto menilai, kembalinya sistem coblos parpol sangat tepat dalam situasi demokrasi saat ini, di mana Indonesia tengah dihadapkan pada ketidakpastian secara global.

"Kita bukan hanya partai yang didesain untuk menang pemilu, tapi sebagai partai yang menjalankan fungsi kaderisasi pendidikan politik, memperjuangkan aspirasi rakyat menjadi kebijakan publik dan di situlah proporsional tertutup kami dorong," kata Hasto, saat ditemui, di Kantor DPP PDI Perjuangan, Jakarta, Selasa (3/1).

Tak hanya itu, Hasto menyebut, sistem coblos parpol akan mendesain penentuan caleg berdasarkan kompetensinya, bukan popularitas. Menurutnya, sistem ini bisa mendorong para akademisi, tokoh agama, dan tokoh-tokoh purnawirawan terpilih menjadi caleg.

"Yang penting kami bisa mendorong, kaum akademisi dari perguruan tinggi, tokoh-tokoh agama misalnya, tokoh-tokoh purnawirawan, itu dengan mekanisme proporsional tertutup lebih memungkinkan bagi mereka untuk didorong terpilih. Karena basenya adalah kompetensi. Jadi proporsional tertutup itu basenya adalah pemahaman terhadap fungsi-fungsi Dewan. Sementara kalau proporsional terbuka adalah popularitas," tegasnya

Delapan fraksi DPR Tolak Coblos Partai
Sebanyak 8 fraksi partai politik di DPR menyatakan menolak Sistem Proporsional Tertutup di Pemilu 2024.

8 fraksi tersebut yaitu Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Gerindra, Fraksi Partai Nasdem, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Fraksi Partai Amanat Nasional, dan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan.

Perwakilan delapan fraksi menandatangani pernyataan sikap pada 2 Januari 2023. Sikap pertama 8 fraksi yakni akan terus mengawal pertumbuhan demokrasi Indonesia tetap ke arah yang lebih maju.

Kedua, meminta Mahkamah Konstitusi untuk tetap konsisten dengan Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 pada 23 Desember 2008, dengan mempertahankan pasal 168 ayat (2) UU No.7 tahun 2017 sebagai wujud ikut menjaga kemajuan demokrasi Indonesia.

"Mengingatkan KPU untuk bekerja sesuai amanat Undang-Undang, tetap independen, tidak mewakili kepentingan siapapun, kecuali kepentingan rakyat, bangsa dan negara," kutipan pernyataan sikap 8 fraksi.

Masyarakat menolak coblos partai pada Pemilu 2024
Penolakan sistem coblos partai juga menguap di kalangan masyarakat, Riana Rizkia (24) meminta agar MK menolak gugatan atas perubahan sistem tersebut.

Riana menilai, penggunaan sistem coblos caleg dianggap lebih baik, sebab dirinya tahu kepada siapa hak suaranya dia titipkan.

"Dalam konteks kepemiluan saya setuju sistem terbuka, karena saya tahu menitipkan suara saya ke siapa. Saya mendorong keterlibatan publik untuk dibuka seluas luasnya," kata Riana, saat diwawancarai merdeka.com, di Jakarta (5/1).

Perihal kekhawatiran adanya politik uang dalam sistem terbuka, Riana mengatakan, hal itu menjadi tugas Bawaslu dalam mengawasi jalannya pelaksanaan pemilu 2024 nanti. Sehingga, jalan untuk merubah sistem kembali menjadi coblos partai bukanlah hal yang tepat.

"Kalau kita hanya memilih partai maka kewenangan elite di partai politik akan semakin besar, memangnya bawaslu dan penegak hukum berani menindak elite? Jutru politik transaksional semakin bebas karena dilakukan di ruang tertutup," tegasnya.

Hal senada juga disampaikan oleh Naufal Lanten (25), dia memilih agar sistem pemilu 2024 tetap menggunakan sistem coblos caleg.

Meskipun, dengan sistem coblos caleg tak menutup kemungkinan adanya manuver seperti politik uang dalam mencari suara. Namun, setidaknya dia bisa mengetahui siapa sosok yang dia pilih nanti di pemilu 2024.

"Kalau suruh milih, saya pilih sistem terbuka. Saya jadi tahu siapa caleg yang saya pilih," kata Naufal.

Sementara, Ferry (25) mendukung agar Pemilu 2024 tetap menerapkan sistem coblos caleg. Menurutnya, masyarakat perlu mengetahui siapa sosok wakil rakyat yang akan menampung aspirasinya kelak.

"Menurut saya sih mending coblos caleg karena dari situ kita bisa melihat kualitas orangnya seperti apa, ya kan kalau misal milih gambar parpol doang kemungkinan parpol tersebut bisa saja memilih kader yang memang kita tak tahu kualitasnya dan bisa jadi dapat menimbulkan hal negatif," katanya.

"Seperti politik uang di dalamnya, yakni siapa yang kuat membayar ya dia yang bakal dipilih parpol, seharusnya kita bisa menghindari hal yang seperti itu. Ya menurut saya lebih baik memilih sosok calegnya sih biar jelas dan enggak beli kucing dalam karung dan demi Demokrasi Indonesia juga sih," imbuh Ferry.

Suara Warga yang Pilih Coblos Caleg: Wakil Rakyat Dipilih Rakyat, Bukan Partai
Perdebatan partai politik terkait sistem proposional tertutup dan terbuka tengah bergulir. Berawal dari gugatan kader PDIP dan NasDem ke MK untuk mengubah sistem proporsional terbuka yang selama ini dipakai di Indonesia menjadi proporsional tertutup.

Isu ini akan berdampak langsung kepada masyarakat saat menentukan hak pilih mereka di Pemilu 2024. Dengan sistem proporsional terbuka, masyarakat akan mencoblos bersamaan daftar calon anggota legislatif (caleg) yang diusung oleh partai politik peserta pemilu.

Sementara, sistem proporsional tertutup, pemilih tidak langsung memilih calon anggota legislatif, melainkan partai politik peserta pemilu. Surat suara sistem pemilu proporsional tertutup hanya memuat logo partai politik tanpa rincian nama caleg. Calon anggota legislatif ditentukan partai. Oleh partai, nama-nama caleg disusun berdasarkan nomor urut.

Masyarakat memiliki pandangan beragam soal dua pilihan sistem pemilu tersebut. Salah satunya Safarianshah Zulkarnaen (28), yang mengaku sangat selektif memilih wakil rakyat. Dia khawatir perubahan sistem proporsional terbuka ke tertutup justru akan memunculkan kongkalikong antar calon wakil rakyat dan partai.

"Karena saya selektif untuk memilih wakil rakyat di pileg, langsung pilih orangnya. Karena saya tahu kapasitas orangnya. Saya khawatir kalau saya pilih partainya, dan digeser ke isu proporsional tertutup ada isu kongkalikong partai nanti," kata Safa saat ditemui merdeka.com di kawasan Jakarta Selatan, Kamis (5/1).

Safa memilih mendukung untuk tetap pada sistem lama proporsional terbuka. Dengan harapan agar tidak salah dalam memilih siapa yang akan menjadi wakilnya di Senayan nanti.
"Kalau dari segi teknis iya mungkin karena penghematan anggaran. Tapi disisi lain demokrasi kita seperti ditebas gitu, karena apa. karena yang menentukan calon terpilih melenggang senayan itu partai politik," ujarnya.

"Sementara kualifikasi wakil rakyat itu dipilih oleh rakyat, bukan oleh partai. Jadi kalau misalkan dia dipilih partai ya bukan wakil rakyat lagi. Tapi wakil partai," tambah dia.

Senada dengan Safa, Fachri Audhia Hafiez (28) juga menyayangkan wacana sistem pemilu diganti ke proporsional tertutup. Karena, hal itu akan membuatnya kesulitan dalam menentukan suaranya.

Sehingga, Fachri memilih agar sistem tetap dengan proporsional terbuka. Setidaknya itu akan lebih melihat siapa saja kandidat yang bakal mewakili suara rakyat di DPR.

"Iya, tapi kalau yang tertutup yah begitu jangan dong," ucapnya.

Rizky Aditya (29) juga menyatakan biasa memilih perorangan bukan partai. Karena, dia melihat kinerja suatu wakil rakyat bisa dilihat dari kerja masing-masing legislatifnya.
"Biasanya saya pilih ya perorangan aja, karena saya lihat caleg ya kinerja perorangan kan. Tetep kinerja yang dipakai tetap perorangan," ucao Rizki.

Di samping itu, Rizki menilai alasan penghematan anggaran dengan mengganti sistem pemilu dari terbuka ke tertutup tidak relevan. Jika isu ini mau digulirkan sudah seharusnya dari dulu dilakukan.

"Anggaran lebih besar kan cuman beberapa tahun sekali, lebih banyak tuh yang boros kan. Terus simpelnya gini aja pak, kalau yang terbuka aja sudah banyak maladmisnitrasi apalagi yang tertutup," jelas Rizki.

"Ini menurut saya ada motif tertentu, kenapa gak dari dulu kalau menghemat anggaran kenapa baru sekarang. Kenapa ketika ada perdebatan di partai, perdebatan caleg di partai itu baru muncul isu ini. To The Point aja pemimpin itu orang bukan partai, masa kita memilih pemimpin tidak tahu orangnya," tambah dia.

Isu Sistem Proposional Tertutup
Sebelumnya, PDI Perjuangan percaya diri mendorong agar sistem pemilu menjadi coblos partai, sementara delapan fraksi di DPR kompak menolak. Tak hanya itu, aturan sistem pemilu yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) tengah diuji secara materiil di MK oleh dua kader partai politik dan empat perseorangan warga negara.

Mereka adalah Demas Brian Wicaksono (Pengurus Partai PDI-Perjuangan), Yuwono Pintadi (Anggota Partai Nasdem), Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono.
PDI Perjuangan menjadi satu-satunya partai yang mendukung dan mendorong adanya perubahan sistem pemilu tersebut.

Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto menilai, kembalinya sistem coblos parpol sangat tepat dalam situasi demokrasi saat ini, di mana Indonesia tengah dihadapkan pada ketidakpastian secara global.

Sebanyak 8 fraksi partai politik di DPR menyatakan menolak Sistem Proporsional Tertutup di Pemilu 2024. 8 fraksi tersebut yaitu Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Gerindra, Fraksi Partai Nasdem, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Fraksi Partai Amanat Nasional, dan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan.

Perwakilan delapan fraksi menandatangani pernyataan sikap pada 2 Januari 2023. Sikap pertama 8 fraksi yakni akan terus mengawal pertumbuhan demokrasi Indonesia tetap ke arah yang lebih maju.

Kedua, meminta Mahkamah Konstitusi untuk tetap konsisten dengan Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 pada 23 Desember 2008, dengan mempertahankan pasal 168 ayat (2) UU No.7 tahun 2017 sebagai wujud ikut menjaga kemajuan demokrasi Indonesia.

"Mengingatkan KPU untuk bekerja sesuai amanat Undang-Undang, tetap independen, tidak mewakili kepentingan siapapun, kecuali kepentingan rakyat, bangsa dan negara," kutipan pernyataan sikap 8 fraksi.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gerindra Mensimulasikan Calon Wakil Presiden yang menambah Suara Untuk PRABOWO

Erick Thohir: Saya dan Ganjar Selalu Seiring, Tapi Ojo Kesusu

rekomendasi game slot gacor